Tidak pernah ditemukan satu dalil pun
yang menyatakan pengharaman terhadap kegiatan tahlilan. Sebaliknya
yang ada adalah anjuran untuk merahmati orang yang meninggal dengan
do’a, permohonan ampun, bacaan al-Qur’an serta dzikir-dzikir lain.
Semua ini tidak pernah diharamkan oleh para imam sekali pun.
Apabila alasannya karena ada perkumpulan dikediaman keluarga
almarhum maka ini sudah tidak tepat sebagai “dalih’ untuk pengharaman
tahlilan sebab ; Pertama ; –seandainya memang yang dimaksud ulama
adalah seperti kegiatan tahlilan sekalipun- kebanyakan ulama hanya
menghukumi makruh bukan haram. Kedua, “yang dianggap makruh adalah
perkumpulan jamuan makan”, sedangkan tahlilan bukanlah kegiatan yang
semata-mata untuk itu, melainkan untuk merahmati mayyit, sehingga tidak
bisa di dikatakan “jamuan makan adalah tahlilan atau tahlilan adalah
jamuan makan”, sebab masing-masing adalah satu hal. Ketiga, -seandainya
memang yang dimaksud ulama adalah tahlilan- itu hanya unsur tahlilan
yang tidak mutlak, sebab tahlilan tidak harus dilakukan di kediaman
keluarga almarhum melainkan bisa juga dilakukan ditempat yang lainnya,
misalnya mushalla, masjid atau tempat-tempat lain. Adanya unsur yang
semisalnya diagggap memang kurang tepat bukan berarti harus “menggusur”
seluruhnya melainkan cukup unsur yang kurang tepat tersebut yang
dibenahi.
Keempat, tahlilan bukan hanya dilakukan pada pasca kematian melainkan
kapan saja atau dengan menentukan waktu seperti pada malam Jum’at
demi mendapatkan keutamaan, disamping pada hari tersebut memang
dianjurkan untuk memperbanyak dzikir juga shalawat.
Oleh karena itu, akal yang sehat akan mengatakan bahwa kegiatan berkumpul bukanlah sesuatu yang haram pada sendirinya (muharram fi-nafsihi)
sebaliknya merupakan hal yang biasa (lumrah) dimanapun itu, baik di
rumah, masjid, mushalla, perkantoran, sekolah dan tempat-tempat lainnya.
Hal itu mubah-mubah saja, apalagi jika kegiatan berkumpul tersebut di
isi dengan hal-hal kebajikan. Seperti itu juga tahlil, didalamnya
berisi amaliyah-amaliyah yang baik mulai dari kalimat thayyibah hingga
shalawat, apalagi bisa mempererat kasih sayang (shilaturahim) antar
kaum muslimin.
Segelintir orang ada juga yang secara membabi buta mengharamkan tahlilan dengan menyamakan dengan niyahah (meratap).
Tentu saja, ini jelas-jelas kekeliruan yang fatal, sebab telah
diketahui bahwa pengertian niyahah adalah menyaringkan suara atau
berteriak-teriak sambil menyebut-nyebut kebaikan mayyit. Hal semacam
ini diharamkan, karena seolah-olah tidak ridla dengan takdir Allah
Ta’alaa atas kematian si mayyit atau menyesali kematian si mayyit dan
bisa menyebabkan mayyit semakin tersiksa. Namun, jika hanya menangis
–berlinang air mata- maka itu tidak haram, sebagaimana yang dituturkan
oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah :
Banyak komentar ulama' dahulu yang menganjurkan tahlil atau semacamnya
Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali.
Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Muflah al-Maqdisi ulama hanabilah
al-Imam ‘Alauddin al-Mardawi yaitu salah seorang ulama Hanabilah
Imam Abdurrahman bin Ibrahim bin Ahmad Bahauddin al-Maqdisi al-Hanbali.
Imam Syarifuddin Musa bin Ahmad bin Musa bin Salim bin ‘Isa bin Salim al-Hajawi al-Maqdisi al-Hanbali.
Imam Manshur bin Yunus bin Shalahuddin Ibnu Hasan bin Idris al-Bahuti al-Hanbali, atau lebih dikenal dengan Imam al-Bahuti.
Imam Zainuddin bin Ibrahim bin Muhammad, lebih dikenal sebagai Ibnu Najim al-Mishri al-Hanafi.
Imam Hasan bin ‘Ammar bin ‘Ali al-Mishri al-Hanafi
Syaikh Abdurrahman bin Muhammad ‘Awdl al-Jaziri.
Syaikh Abul ‘Alaa Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri.
Madzhab Zaidiyah dengan pendiri al-Imam Zaid bin ‘Ali bin al-Husain
bin ‘Ali bin Abi Thalib, saat ini di anggap sebagai madzhab yang
paling dekat dengan madzhab yang empat yakni Madzhab Hanafi, Madzhab
Maliki, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali.
al-Imam asy-Syawkani
Imam al-Amir ‘Izzuddin Ash-Shan’ani dan masih banyak ulama'2 lainnya
yang tak bisa saya sebutkan satu persatu karena memang intinya adalah
kebaikan yang diperuntukan bagi mayyit dan ahlul baitnya.
JAMUAN MAKAN PADA PERKUMPULAN KEGIATAN TAHLIL
Dalam kegiatan tahlilan, kadang terdapat hidangan dari tuan rumah
baik ala kadarnya (makanan ringan) dan ada juga yang berupa jamuan
makan. Namun, ada juga yang hanya berupa minuman saja. Apapun itu
tidak menjadi masalah dalam tahlilan. Sebab itu bukan tujuan dari
tahlilan, namun tuan rumah kadang memiliki motivasi tersendiri seperti
dalam rangka menghormati tamu atau bermaksud untuk bershadaqah yang
pahalanya dihadiahkan kepada anggota keluarganya yang meninggal dunia.
Ada hal yang sering di permasalahkan oleh para pengingkar terkait
yang ada di dalam kegiatan tahlilan. Mereka mencari-cari “dalih” dalam
kitab-kitab para imam untuk mengharamkan tahlilan, padahal tidak ada
yang mengharamkannya.
Pada dasarnya bahasan ini bukan mengenai tahlilan secara keseluruhan,
akan tetapi mengenai jamuan makan dari keluarga almarhum dan
berkumpulnya manusia padanya setelah kematian. Jamuan makan adalah satu hal, dan tahlilan juga satu hal.
Namun, karena jamuan makan juga ada pada kegiatan tahlilan maka
pembahasannya pun terkait dengan tahlilan. Walaupun demikian, tidak bisa
dikatakan jamuan makan adalah tahlilan atau tahlilan adalah jamuan
makan, sebab memang bukan seperti itu. Orang yang melarang tahlilan
dengan alasan adanya jamuan makan sebagaimana disebarkan oleh mereka
yang benci tahlilan maka itu benar-benar telah keliru dan tidak merinci
sebuah permasalahan dengan tepat.
Tahlilan hukumnya boleh, sedangkan unsur-unsur dalam tahlilan
merupakan amaliyah-amaliyah masyru’ seperti berdo’a, membaca dzikir
baik tasybih, tahmid, takbir, tahlil hingga shalawat, dan juga membaca
al-Qur’an yang pahalanya untuk mayyit. Disamping itu juga terkait
dengan hubungan sosial masyarakat yang dianjurkan dalam Islam yakni
shilaturahim.
Adapun jamuan makan dalam kegiatan tahlilan (kenduri arwah) jika
bukan karena tujuan untuk kebiasaan (menjalankan adat) dan tidak
memaksakan diri jikalau tidak mampu serta bukan dengan harta yang
terlarang. Maka, membuat dengan niat tarahhum (merahmati) mayyit dengan
hati yang ikhlas serta dengan niat menghadiahkan pahalanya kepada
mayyit (orang mati) maka itu mustahab (sunnah). Itu merupakan amalan
yang baik karena tujuannya adalah demikian. Nabi shallallahu ‘alayhi wa
sallam bersabda :
إنما الأعمال بالنيات
“Sesungguh sesuatu perbuatan tergantung dengan niat” [1]
Juga sebuah qaidah menyatakan :
الأمور بمقاصدها
“Suatu perkara tergantung pada tujuannya”. [2]
Serta, orang yang melakukannya dengan tujuan (niat) tersebut akan
mendapatkan pahala, sebab telah shahih hadits dari Ibnu ‘Umar
radliyallah ‘anh :
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ
بَيَّنَ ذَلِكَ، فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا
اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا
فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى
سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ، وَمَنْ هَمَّ
بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً
كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ
سَيِّئَةً وَاحِدَةً
“Sesungguhnya Allah mencatat kebaikan-kebaikan dan
keburukan-keburukan, kemudian menjelakan yang demikian, maka
barangsiapa yang berkeinginan melakukan kebaikan namun tidak sampai
melakukannya niscaya Allah akan mencatatkan untuknya kebaikan yang
sempurna, maka jika ia berkeinginan dengannya kemudian melakukannya
niscaya Allah akan mencatatkan untuknya sepuluh macam kebaikan sampai
700 kali lipat kemudian hingga berlipat-lipat yang banyak ; barangsiapa
yang berkeinginan melakukan keburukan namun ia tidak mengerjakannya
niscaya Allah mencatatkan untuknya kebaikan yang sempurna, namun jika
ia mengerjakannya niscaya Allah mencatatkan untuknya satu macam
keburukan”. [3]
Dan juga telah tsabit didalam shahih al-Bakhari dari Abdullah bin
‘Umar bin al-‘Ash, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi
shallallahu ‘alayhi wa sallam :
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: أَيُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ؟ قَالَ: «تُطْعِمُ الطَّعَامَ،
وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
“Ya Rasulullah apakah amal yang baik dalam Islam ? Nabi menjawab :
“memberikan makan, mengucapkan salam kepada orang yang dikenal dan
tidak dikenal” [4]
Lafadz “ith’am” pada hadits meliputi makan, minum, jamuan juga
shadaqah dan yang lainnya, sebab lafadz tersebut umum. Dalam sebuah
hadits dari Thawus radliyallahu ‘anh menyebutkan :
ان الموت يفتنون فى قبورهم سبعا . فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
“Sesungguhnya orang mati di fitnah (diuji dengan pertanyaan
malaikat) didalam kubur mereka selama 7 hari, maka mereka menganjurkan
untuk memberi jamuan makan yang pahalanya untuk mayyit selama masa 7
hari tersebut”. [5]
Imam al-Hafidz As-Suyuthi mengatakan bahwa lafadz “kanuu yustahibbuna”,
memiliki makna kaum Muslimin (sahabat) yang hidup pada masa Nabi
shallallahu ‘alayhi wa salllam , sedangkan Nabi mengetahuinya dan taqrir
atas hal itu. Namun, dikatakan juga sebatas berhenti pada pada
sahabat saja dan tidak sampai pada Rasulullah. [6]
Berdasarkan hal diatas, maka memberikan makanan yang pahalanya untuk
orang mati merupakan amalan yang memang dianjurkan. Adapun
melakukannya setelah kematian juga tidak masalah selama diniatkan
untuk menshadaqahkan dalam rangka merahmati mayyit.
SUPAYA MUDAH MEMAHAMI
Haram : yakni apabila jamuan makan (hidangan makan) dalam tahlilan
yang berasal dari harta mayyit yang mayyit masih memiliki tanggungan
hutang yang belum diselesaikan ; berasal dari harta anak yatim ;
berasal dari harta mayyit sedangkan ahli warisnya bukan orang yang
berhak (tidak dibenarkan oleh syariat) untuk mengurus harta mayyit,
seperti anak-anak atau seumpamanya ; jamuan berasal dari harta mayyit
tanpa ada izin (persetujuan) dari ahli-ahli warisnya ; jamuan diadakan
untuk niyahah atau jamuan diberikan kepada wanita yang meratap.
Makruh : yakni apabila jamuan makan (hidangan makan) didalam
tahlilan diadakan untuk menghilangkan kesunyian dan perasaan duka cita
samata ; jamuan makan diadakan tanpa ada tujuan apa-apa atau hanya
karena mengikuti kebiasaan setempat dan hari hari tertentu dan lain
sebagainya.
Mubah bahkan Sunnah : yakni apabila jamuan makan (hidangan makan)
diadakan untuk tujuan mendo’akan (merahmati) yang mati dan memperat
shilaturahim, yang mana ini memotivasi diri dan mendorong hati untuk
mendo’akan (merahmati) untuk mayyit ; jamuan makan untuk tujuan / niat
untuk shadaqah yang pahalanya untuk mayyit, ini hukumnya sunnah
(mustahab) dan pahalanya sampai kepada mayyit. Shadaqah tidak selalu
berupa jamuan makan melainkan juga bisa dalam bentuk yang lainnya.
Kegiatan yang tidak bertentangan seperti diatas telah diceritakan
oleh Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafi’i rahimahullah
(salah satu pengarang kitab tafsir Jalalain) sebagai kegiatan yang
memang tidak pernah di tinggalkan kaum Muslimin, didalam al-Hawi
lil-Fatawi disebutkan :
Kegiatan yang tidak bertentangan seperti diatas telah diceritakan
oleh Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafi’i rahimahullah
(salah satu pengarang kitab tafsir Jalalain) sebagai kegiatan yang
memang tidak pernah di tinggalkan kaum Muslimin, didalam al-Hawi
lil-Fatawi disebutkan :
أن سنة الإطعام سبعة أيام، بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة
والمدينة، فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن، وأنهم أخذوها
خلفا عن سلف إلى الصدر الأول
“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai
kepadaku bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai
sekarang (yakni masa al-Hafidz sendiri) di Makkah dan Madinah. Maka
secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para
shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan
sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini
dari pada salafush shaleh hingga generasi awal Islam. Dan didalam
kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka
mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya
selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [1]
Ini sekaligus persaksian (saksi mata) adanya kegiatan kenduri 7 hari
di Makkah dan Madinah sejak dahulu kala. Hal ini kembali di kisahkan
oleh al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh al-Fadlil Muhammad Nur al-Buqis
didalam kitab beliau yang khusus membahas kegiatan tahlilan (kenduri
arwah) yakni “Kasyful Astaar” dengan menaqal perkataan Imam As-Suyuthi :
أن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني و رأيته أنها مستمرة إلى الأن
بمكة والمدينة من السنة 1947 م إلى ان رجعت إلى إندونيسيا فى السنة 1958
م. فالظاهر انها لم تترك من الصحابة إلى الأن وأنهم أخذوها خلفاً عن سلف
إلى الصدر الإول. اه. وهذا نقلناها من قول السيوطى بتصرفٍ. وقال الإمام
الحافظ السيوطى : وشرع الإطعام لإنه قد يكون له ذنب يحتاج ما يكفرها من
صدقةٍ ونحوها فكان فى الصدقةِ معونةٌ لهُ على تخفيف الذنوب ليخفف عنه هول
السؤل وصعوبة خطاب الملكين وإغلاظهما و انتهارهما.
“Sungguh sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai
informasi kepadaku dan aku menyaksikan sendiri bahwa hal ini (kenduri
memberi makan 7 hari) berkelanjutan sampai sekarang di Makkah dan
Madinah (tetap ada) dari tahun 1947 M sampai aku kembali Indonesia
tahun 1958 M. Maka faktanya amalan itu memang tidak pernah di
tinggalkan sejak zaman sahabat nabi hingga sekarang, dan mereka menerima
(memperoleh) cara seperti itu dari salafush shaleh sampai masa awal
Islam. Ini saya nukil dari perkataan Imam al-Hafidz as-Suyuthi dengan
sedikit perubahan. al-Imam al-Hafidz As-Suyuthi berkata : “disyariatkan
memberi makan (shadaqah) karena ada kemungkinan orang mati memiliki
dosa yang memerlukan sebuah penghapusan dengan shadaqah dan
seumpamanya, maka jadilah shadaqah itu sebagai bantuan baginya untuk
meringankan dosanya agar diringankan baginya dahsyatnya pertanyaan
kubur, sulitnya menghadapi menghadapi malaikat, kebegisannyaa dan
gertakannya”. [2]
Istilah 7 hari tersebut adalah berdasarkan riwayat shahih dari Thawus
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. [3] Yang mana sebagian ulama
mengatakan bahwa riwayat tersebut juga atas taqrir dari Rasulullah,
sebagian juga mengatakan hanya dilakukan oleh para sahabat dan tidak
sampai pada masa Rasulullah.
TIDAK SETIAP BID'AH DIHUKUMI HARAM
Telah dibuktikan didalam kitab-kitab para Imam,
sebagaimana perkara yang disebutkan oleh para Imam seperti diatas
walaupun ada perkara yang telah dikatakan sebagai bid’ah namun perlu diingat
bahwa para imam tidak serta merta menjatuhkannya pada status hukum
haram, seperti perkataan mereka yakni “bid’ah makruhah (bid’ah yang
hukumnya makruh, bukan haram)”, juga “bid’ah ghairu mustahibbah (bid’ah
yang tidak dianjurkan)” maka ini status hukumnya jatuh antara mubah
dan makruh. Ada lagi istilah bid’ah munkarah yang hukumnya makruh, dan
lain sebagainya. Oleh karena itu, perbuatan seperti diatas tidaklah
haram (berdosa) walaupun semisalnya dilakukan. Juga tidak bisa dijadikan
“dalih” mengharamkan tahlilan, sama sekali tidak ada benang merahnya.
Kenapa tidak semua bid’ah jatuh pada status hukum haram
? Sebab bid’ah bukanlah hukum (status hukum Islam). Bid’ah adalah
sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut perkara baru yang tidak
berasal dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam. Adapun hukum Islam ada
5 yakni : wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh dan haram. Ini adalah
bahasan tentang status hukum dan penetapannya.
Maka, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap sebagai bid’ah,
mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk bid’ah
tersebut, melainkan mereka (ulama) menimbang dan mengkaji terlebih
dahulu tentang bid’ah tersebut, yakni terkait selaras atau tidaknya
dengan kaidah-kaidah syariat. Sehingga nantinya akan terlihat/dapat
disimpulkan status hukum untuk perkara bid’ah tersebut, apakah masuk
dalam hukum wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan
haram. Sebab sesuatu harus ditetapkan status hukumnya. Nikah pun yang
jelas-jelas sunnah Rasulullah, tidak serta merta dihukumi wajib
tergantung kondisi dan situasinya. Oleh karena itu bid’ah juga harus
ditinjau dengan kaidah syariat dalam menetapkan hukum :
Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan
menyebutnya sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh)” ;
Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan
menyebutnya sebagai “bid’ah muharramah (bid’ah yang hukumnya haram)” ;
Jika masuk pada kaidah penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan
menyebutnya sebagai “bid’ah mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah)” ;
Jika masuk pada kaidah penetapan hukum sunnah/mandub/mustabah maka
ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah mustahabbah (bid’ah yang
hukumnya sunnah/ mustahab/ mandub)” ; Jika masuk pada kaidah penetapan
hukum wajib maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah wajibah
(bid’ah yang hukumnya wajib)”.
Sebagaimana Imam an-Nawawi menyebutkan didalam al-Minhaj syarah Shahih Muslim :
قال العلماء البدعة خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة
ومباحة فمن الواجبة نظم أدلة المتكلمين للرد على الملاحدة والمبتدعين وشبه
ذلك ومن المندوبة تصنيف كتب العلم وبناء المدارس والربط وغير ذلك ومن
المباح التبسط في ألوان الأطعمة وغير ذلك والحرام والمكروه ظاهران وقد
أوضحت المسألة بأدلتها المبسوطة في تهذيب الأسماء واللغات
“’Ulama berkata bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian (bagian hukum)
yakni wajibah (bid’ah yang wajib), mandubah (bid’ah yang mandub),
muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan
mubahah (bid’ah yang mubah)”, diantara bid’abh yang wajib adalah
penyusunan dalil oleh ulama mutakallimin (ahli kalam) untuk membantah
orang-orang atheis, ahli bid’ah dan seumpamanya; diantara bid’ah
mandzubah (bid’ah yang sunnah) adalah mengarang kitab ilmu, membangun
madrasah dan tempat ribath serta yang lainnya ; diantara bid’ah yang
mubah adalah mengkreasi macam-macam makanan dan yang lainnya, sedangkan
bid’ah yang haram dan bid’ah yang makruh, keduanya telah jelas dan
telah dijelaskan permasalahannya dengan dalil yang rinci didalam kitab
Tahdzibul Asmaa wal Lughaat” [1]
Berikut adalah redaksi dalam kitab Tahdzibul Asma’ wal Lughaat, yang
menjelaskan lebih rinci lagi tentang pembagian bid’ah tersebut :
قال الشيخ الإمام المجمع على إمامته وجلالته وتمكنه في أنواع
العلوم وبراعته أبو محمد عبد العزيز بن عبد السلام رحمه الله ورضي عنه في
آخر كتاب "القواعد": البدعة منقسمة إلى: واجبة، ومحرمة، ومندوبة، ومكروهة،
ومباحة. قال: والطريق في ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة، فإن دخلت
في قواعد الإيجاب فهي واجبة، أو في قواعد التحريم فمحرمة، أو الندب
فمندوبة، أو المكروه فمكروهة، أو المباح فمباحة، وللبدع الواجبة أمثلة
منها: الاشتغال بعلم النحو الذي يفهم به كلام الله تعالى وكلام رسول الله -
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وذلك واجب؛ لأن حفظ الشريعة واجب،
ولا يتأتى حفظها إلا بذلك وما لا يتم الواجب إلا به، فهو واجب، الثاني حفظ
غريب الكتاب والسنة في اللغة، الثالث تدوين أصول الدين وأصول الفقه،
الرابع الكلام في الجرح والتعديل، وتمييز الصحيح من السقيم، وقد دلت قواعد
الشريعة على أن حفظ الشريعة فرض كفاية فيما زاد على المتعين ولا يتأتى
ذلك إلا بما ذكرناه، وللبدع المحرمة أمثلة منها: مذاهب القدرية والجبرية
والمرجئة والمجسمة والرد على هؤلاء من البدع الواجبة، وللبدع المندوبة
أمثلة منها إحداث الرُبِط والمدارس، وكل إحسان لم يعهد في العصر الأول،
ومنها التراويح، والكلام في دقائق التصوف، وفي الجدل، ومنها جمع المحافل
للاستدلال إن قصد بذلك وجه الله تعالى. وللبدع المكروهة أمثلة: كزخرفة
المساجد، وتزويق المصاحف، وللبدع المباحة أمثلة: منها المصافحة عقب الصبح
والعصر، ومنها: التوسع في اللذيذ من المآكل، والمشارب، والملابس، والمساكن،
ولبس الطيالسة، وتوسيع الأكمام. وقد يختلف في بعض ذلك فيجعله بعض العلماء
من البدع المكروهة، ويجعله آخرون من السنن المفعولة في عهد رسول الله -
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فما بعده، وذلك كالاستعاذة في الصلاة
والبسملة هذا آخر كلامه
“Syaikhul Imam Abu Muhammad ‘Abdul ‘Aziz bin Abdis Salam didalam akhir kitabnya al-Qawaid berkata : “bid’ah terbagi kepada
hukum yang wajib, haram, mandub, makruh dan mubah. Ia berkata : metode
yang demikian untuk memaparkan bid’ah berdasarkan kaidah-kaidah
syari’ah, sehingga
1. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum wajib maka itu bid’ah wajibah,
2. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum haram maka itu bid’ah muharramah,
3. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum mandub maka itu bid’ah mandubah,
4. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum makruh maka itu bid’ah makruhah,
5. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum mubah maka itu bid’ah mubahah.
Diantara contohnya masing-masing adalah ;
1. Bid’ah Wajibah seperti : menyibukkan diri belajar ilmu-ilmu
sehingga dengannya bisa paham firman-firman Allah Ta’ala dan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, itu wajib karena menjaga
menjaga syariah itu wajib, dan tidak mungkin menjaga kecuali dengan hal
itu, dan sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengannya maka
itu wajib, menjaga bahasa asing didalam al-Qur’an dan as-Sunnah,
mencatat (membukukan) ilmu ushuluddin dan ushul fiqh, perkataan
tentang jarh dan ta’dil, membedakan yang shahih dari buruk, dan sungguh
kaidah syariah menunjukkan bahwa menjaga syariah adalah fardlu
kifayah”.
2. Bid’ah Muharramah seperti : aliran (madzhab) al-Qadariyah,
al-Jabariyah, al-Murji’ah, al-Mujassimah, dan membantah mereka termasuk
kategori bid’ah yang wajib (bid’ah wajibah).
3. Bid’ah Mandzubah (Bid’ah yang Sunnah) seperti : membangun
tempat-tempat rubath dan madrasah, dan setiap kebaikan yang tidak ada
pada masa awal Islam, diantaranya adalah (pelaknasaan) shalat tarawih,
perkataan pada detik-detik tashawuf, dan lain sebagainya.
4. Bid’ah Makruhah seperti : berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushhaf dan lain sebagainya.
5. Bid’ah Mubahah seperti : bersalaman (berjabat tangan) selesai
shalat shubuh dan ‘asar, jenis-jenis makanan dan minuman, pakaian dan
kediaman. Dan sungguh telah berselisih pada sebagian yang demikian,
sehingga sebagian ‘ulama ada yang memasukkan pada bagian dari bid’ah
yang makruh, sedangkan sebagian ulama lainnya memasukkan perkara sunnah
yang dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan
setelah beliau, dan itu seperti mengucapkan isti’adzah didalam shalat
dan basmalah. Ini akhir perkataan beliau. “ [2]
Kesimpulannya sudah jelas yaitu bahwa tidak semua bid’ah dihukumi haram,
melainkan harus ditinjau terlebih dahulu status hukumnya. Semua itu
karena ternyata ada bid’ah yang tidak bertentangan dengan syariat Islam,
diistilahkan dengan bid’ah hasanah (baik) dan ada juga bid’ah yang
bertentangan dengan syariat Islam, di istilahkan dengan bid’ah yang
buruk. al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan sebagaimana
disebutkan olah al-Muhaddits al-Baihaqi :
أخبرنا أبو سعيد بن أبي عمرو، ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ,
ثنا الربيع بن سليمان، قال: قال الشافعي رضي الله عنه: المحدثات من الأمور
ضربان: أحدهما: ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا , فهذه
لبدعة الضلالة. والثانية: ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا ,
فهذه محدثة غير مذمومة وقد قال عمر رضي الله عنه في قيام شهر رمضان: «نعمت
البدعة هذه» يعني أنها محدثة لم تكن , وإن كانت فليس فيها رد لما مضى
“Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Sa’id bin Abu ‘Amr, telah
menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah
menceritakan kepada kami ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata : Imam
asy-Syafi’i pernah berkata : perkara baru (muhdatsaat) itu terbagi
menjadi menjadi dua bagian :
1. Suatu perkara baru yang menyelisihi al-Qur’an, Sunnah, Atsar
atau Ijma’, maka ini termasuk perkara baru yang disebut bid’ah
dlalalah, dan
2. Suatu perkara baru yang baik yang didalamnya tidak
menyelisihi dari salah satu tersebut, maka ini perkara baru (muhdats)
yang tidak buruk,
dan sungguh Sayyidina ‘Umar radliyallahu ‘anh berkata tentang shalat
pada bulan Ramadhan (shalat Tarawih) : “sebaik-baiknya bid’ah adalah
ini”, yakni perkara muhdats yang tidak ada sebelumnya, walaupun
keberadaannya tidaklah bertentangan dengan sebelumnya. [3]
Contoh-contoh semacam ungkapan (istilah) seperti diatas begitu banyak
dikitab-kitab Ulama, diantaranya sebagaimana yang telah disebutkan.
Sehingga menjadi penting ketika membaca perkataan ulama syafi’iyah juga
mengerti pembagian bid’ah menurut ulama syafi’iyah. Perincian Imam
‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam tersebut kadang berbeda dengan ulama madzhab
lainnya, sehingga menyebutnya bukan sebagai bid’ah melainkan sebagai
maslahah Mursalah, perbedaan ini terjadi karena memang cara
memahaminya pun berbeda walaupun esensinya sebenarnya sama yaitu
sama-sama para ‘ulama menerimanya. Perbedaan seperti inilah yang
sebenarnya terjadi, bukan seperti kalangan yang selalu
menuding-menuding “ini sesat” dan “itu sesat”, bukan seperti pemahaman
mereka itu.
Mungkin itu saja dulu, nanti kita bahas di komentar
wassaalmualaikum wr.wb.